Selasa, 27 Januari 2009

Kebebasan pers = kebablasan pers ?










dipenghujung tahun 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluhkan kondisi pers di Indonesia. Dalam penilaiannya, pers kini diibaratkan kendaraan yang remnya sudah blong. Meski kerisauan Megawati tidak ditujukan ke semua pers dan menyatakan tidak akan menuntut pers yang dinilai kebablasan, pernyataan tersebut perlu dikritisi dan menjadi bahan renungan dalam (9 Februari) tahun ini. Benarkah pers kita sudah kebablasan?
Persoalan pers kebablasan akan terkait dengan kebebasan pers. Inilah yang pernah dikhawatirkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dalam suatu wawancara—setelah ia tidak lagi menjabat presiden—dengan AP Television News. Seperti dikutip Straits Times (25/7/2001), Gus Dur mengkhawatirkan, Mega akan berkuasa dengan gaya kepemimpinan ala Soeharto. Salah satunya adalah menghidupkan kembali kebiasaan melakukan sensor.
Munculnya sensor dan pembelengguan kebebasan pers makin ditakutkan dengan adanya rencana menghidupkan kembali Departemen Penerangan, pada saat-saat awal penggodokan pembentukan Kabinet Gotong Royong. Di masa lalu, fungsi menonjol dari Deppen adalah sebagai pengendali kebebasan pers. Karena itu pula, hadirnya Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi sempat dicurigai sebagai Deppen dengan baju baru.
Hanya saja, di sisi lain, di zaman ketika batas-batas negara kian kabur dengan teknologi internet yang menggurita, masih perlukah adanya ketakutan akan pembelengguan pers? Dalam dunia internet sendiri, pembungkaman kebebasan berbicara merupakan pelanggaran terhadap konstitusi demokrasi dan hukum internasional.

Perjalanan Pers
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Meski kalangan pers di berbagai negara diberi kebebasan dan telah menjadi lebih profesional, di berbagai belahan dunia saat ini para wartawan tetap menghadapi intimidasi, kekerasan, pengasingan, penjara, bahkan hukuman mati atau pembunuhan.
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.
Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. ”Saya tidak menginginkan siaran berita yang objektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi.” Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan. Tidak heran, tindakan, tuduhan dan pembredelan pers terjadi berkali-kali.
Seperti pada tahun 1952, dua surat kabar dibredel, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi delapan tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956.
Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 surat kabar dan penahanan tujuh wartawan.
Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor, dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (Pasal 4 dan 8, Ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas, dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.
Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti, kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental.
Sejak titik balik itulah, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut. Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah. Begitu juga, tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai berisiko.
Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ”mati”, kini pun hidup kembali, seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan Harian Umum Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ”mati”, dengan segala kemudahannya, kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio, dan televisi maupun situs berita online baru.
Pada perkembangan kemudian pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Departemen Penerangan. Meski para wartawan masih tetap mendapat ancaman intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan, dengan dihapuskannya Deppen paling tidak pers punya hak untuk menyebarkan informasi yang bebas dari sensor melalui bentuk media apa pun.

Pers Kebablasan
Apa yang dikatakan Megawati mengenai pers kebablasan, sesungguhnya tidak dirasakannya sendiri. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.

Dalam media politik pascareformasi, korban paling jelas adalah Gus Dur. Saat jadi presiden, foto rekayasa Gus Dur laksana Tom Cruise dalam film Mission Impossible II, dipampang media tanpa mengindahkan etika. Begitu juga dengan gambar Gus Dur yang bak Superman maupun Gus Dur bersama Aryanti Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, semua dimunculkan atas nama kebebasan pers.
Judul-judul provokatif seperti Bush Babi Buta, Amerika Setan!, ataupun gaya bahasa yang kasar seperti mengibaratkan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR seperti ikan lele yang berebut kotoran, kerapkali diadaptasi. Padahal cukup jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.
Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) secara tegas disebutkan, wartawan tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan pornografis, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. Yang dimaksud pornografis, dalam penjelasan KEWI, adalah informasi atau gambar yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa menimbulkan nafsu berahi atau mengundang kontroversi publik.
Uniknya, kini pasar media dibanjiri media-media yang mengkhususkan diri pada liputan seksual dengan menampilkan dan mengeksploitasi gambar-gambar perempuan dengan tonjolan buah dada dan paha.
Selain beralasan karena dengan hadirnya banyak media baru membuat kompetisi makin ketat, media ”kuning” ini tetap melaju dengan alasan bahwa masyarakat bersifat hipokrit: pada satu sisi menentang pornografi, namun di sisi lain merasa ketinggalan informasi jika belum ikut mencicipi berita erotis yang menjadi perbincangan. Alasan lainnya, pornografi tidak mempunyai hubungan dengan penghancuran moralitas kaum muda. Rusaknya generasi muda bergantung pada pergaulan sosial dan psikologis tiap individu mereka sendiri.
Meski pendukung aliran kebablasan pers dengan tenang menyatakan bahwa seharusnya masyarakat siap menerima keberagaman informasi, kebablasan pers ini memunculkan keinginan untuk merevisi UU Pers. Alasannya, UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999 dipandang gagal menyelesaikan ekses-ekses negatif dari kebebasan pers, sehingga UU Pers harus diperbaiki.

Kerawanan Pers Bebas
Di era informasi seperti sekarang ini, pemerintah di seluruh dunia berada di bawah tekanan untuk menghormati hak warga negara untuk berkomunikasi secara bebas. Apalagi dengan berkembangnya internet yang telah memberikan arti baru terhadap komunikasi. Internet dianggap sebagai revolusi komunikasi, bahkan mungkin sebuah revolusi informasi.
Dibanding beberapa media dan sistem komunikasi lainnya, termasuk cetak, penyiaran dan sistem pos, internet memungkinkan pengiriman dan pertukaran beragam informasi ke seluruh dunia, serta berkomunikasi secara interaktif. Secara nyata, di masa revolusi informasi ini, menerbitkan media berbahasa Indonesia, bisa menggunakan server di Amerika Serikat dan menjalankan media tersebut dari belahan dunia lain.
Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pascapembredelan Tempo, Detik, dan Editor, cukup signifikan. Lewat situs Apakabar, Pijar Online, ataupun Indonews, pendapat maupun cerita-cerita unik yang tak mungkin dipublikasikan media umum di Indonesia, bisa dibaca. Situs-situs tersebut, termasuk hadirnya Tempo Interaktif, mematahkan pendapat bahwa kebebasan pers bisa dipasung denagn pencabutan SIUPP.
Dengan perkembangan revolusi melalui internet di tanah air pula, sesungguhnya persoalan kebebasan pers dalam menyuarakan kebenaran tidak mungkin bisa dibelenggu lagi. Tidak bisa tiap bit informasi yang lalu lalang dalam jaringan cyber highway disensor, apalagi dengan belum adanya aturan yang jelas mengenai lalu lintas informasi lewat network of networks ini. Karenanya, segala ketakutan akan diberangusnya kebebasan pers lewat lembaga-lembaga formal pengawas pers tidak perlu direspons berlebihan.
Yang perlu diwaspadai, seperti dikatakan Sekjen PBB Kofi Anan pada Hari Kebebasan Pers Dunia tahun lalu, kebebasan pers sebagai tulang punggung hak-hak asasi manusia serta mendorong keterbukaan dan pemerintahan yang baik (good governance) tetap mengundang kerawanan, baik lewat internet maupun media ”konvensional”. Kerawanan itu adalah adanya pelanggaran hak pribadi, moral (pornografi), dan pemanfaatan media untuk membangkitkan kebencian di kalangan rakyat.
Salah peran seperti inilah yang membuat beberapa pihak yang dirugikan mulai mengecam pers. Untuk itu, sebaiknya, proteksi kebebasan pers seperti dapat dilihat pada Undang-Undang Pers 1999, pada Pasal 28 UUD 1945 yang sudah diamandemen, serta Tap MPR XVII yang menjamin hak asasi manusia dalam arus informasi yang bebas, diimbangi dengan aturan tegas bagi pers yang kebablasan, kelewat batas.
Bisa dengan merevisi UU Pers maupun dengan mengoptimalkan peran Dewan Pers sebagai ”politisi etika” pers, yang bertanggung jawab dalam menegakkan kode etik wartawan agar kebebasan pers yang sekarang ada lebih bermartabat.
Bagi insan pers sendiri, gugatan terhadap kebebasan pers oleh masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa perlu diwaspadai dengan lebih mawas diri dan mengawasi diri tentang keberadaan dan tanggung jawabnya terhadap publik. Publik sendiri juga perlu memahami makna kebebasan pers dengan menindaklanjutinya secara hukum jika merasa dirugikan, bukan dengan melakukan kekerasan. Penegakan supremasi hukum akan benar-benar diuji di sini. Dirgahayu Pers Indonesia.


analisis :
Menurut saya PERS adalah sebagai sebuah media, memang seringkali menjadi pijakan bagi
masyarakat. pers tidak hanya menjadi sumber informasi saja, tetapi juga
diharapkan mampu menumbuhkan shared value kebebasan dan demokrasi bagi
masyarakat. Apakah sudah Benarkah pandangan dan harapan ini?
Ternyata, sebagian besar hanya menginginkan media menjadi
corong informasi dari semua peristiwa dan perubahan yang terjadi di
negeri ini tanpa perlu mengambil sikap. Dengan kata lain, sebagian
besar menginginkan media itu netral meskipun situasi sosial
dan suhu politik sangat mencemaskan. Tampaknya, publik tidak
mengharapkan pers berperan dalam perubahan sosial yang kini terjadi.
Mereka betul-betul hanya melihat media itu merupakan corong informasi
dari perubahan sosial tersebut.

teori menurut undang_undang:
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik
* 9980 tentang dirinya maupun tentang orang lain.

13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

pasal 2

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Selasa, 02 September 2008

moEtH_mE

kE moEth........

ke baEg..........

kE cUbby......

kE sKa tWeEty.........

kE sKa wRna kN!ng.........

Sabtu, 30 Agustus 2008

LopHeLy tWeeTy...!!!!!!

Ke sKa bGd mE yg nMa na tWeeTy.......!!!!!!!!

kE sKa bGd mR wRna Kng.....!!!!!!

kE mUan!eZz.......

kE baEg......

kE cHubBy.......